Minggu, 17 Mei 2015

PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM KETATANEGARAAN DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
UUD Negara RI Tahun 1945 setelah perubahan, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan

tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut kekuatan Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilu baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Kedaulatan diartikan sebagai kekuasan yang tertingi, yaitu kekuasan yang tidak dibawah kekuasan lain.[1] Dalam rumusan baru ini terkandung ide;42 (a) kedaulatan di tangan rakyat, atau asas demokrasi, dan (b) bahwa pelaksanan kedaulatan tersebut diatur dalam Undang- Undang Dasar atau berdasar asas konstiusionalisme. Perumusan yang baru ini memang berbeda dengan perumusan yang lama , dimana pada rumusan yang lama pada hakekatnya Pasal 1 ayat 2 norma hukumnya berisikan ketentuan transformatif atau pengalihan mutlak dari kedaulatan di tangan rakyat kesebuah lembaga yaitu MPR.[2]
Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggungjawab. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat karena melalui pemilihan umum rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan Negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945
RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana syarat dan proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden?
b.      Ketentuan apa saja yang menjadi acuan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden?
TUJUAN
a.       Untuk mengetahui bagaimana syarat dan proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden
b.      Untuk mengetahui ketentuan apa saja yang menjadi acuan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden

BAB II
PEMBAHASAN
Dari persfektif hukum tata Negara pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung adalah keharusan konstitusional. Ketentuan konstitusional tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung sudah final sebagai keputusan politik nasional yang dituangkan dalam perubahan UUD 1945.[3]
UUD 1945 tidak mengatur secara jelas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, persoalan ini justru diatur lebih terinci dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tatacara penyalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan persyaratan bagi Presiden ialah orang Indonesia asli, tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang maksud pernyataan orang Indonesia asli. Pencantuman kata-kata “asli” untuk konteks sekarang ini memiliki makna yang condong kontroversi. Bagi penduduk Indonesia yang menjadi warga Negara tetapi bukan “asli” tidak mempunyai peluang menjadi presiden. Sementara untuk mencari siapa penduduk Indonesia yang “asli” juga sama sulitnya. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia sekarang ini bukan asli berasal dari nenek moyang yang mendiami wilayah Indonesia beribu-ribu tahun lalu. Penghilangan kata “asli” diharapkan akan menghilangkan kontroversi tentang mana penduduk asli Indonesia dan mana yang bukan. Disamping itu juga menghilangkan kesan adanya diskriminasi etnis.[4]
Kemudian dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Hal ini memberi implikasi bahwa rakyat tidak dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden. Dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden melalui MPR maka dapat memunculkan intrik-intrik politik bahwa calon presiden yang mempunyai dukungan politik terbanyak di MPR lah yang dengan mudah dapat menjadi presiden.
Kemudian setelah dilakukan perubahan ketiga UUD 1945 melalui Sidang Tahunan MPR 2001, persyaratan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden semakin Nampak jelas diatur didalam Pasal 6 UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:[5]
(1)   Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewerganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2)   Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Ketentuan didalam Pasal 6 Perubahan Ketiga UUD 1945 tidak lagi mencantumkan persyaratan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia “asli”, tetapi dipersyaratkan “harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewerganegaraan lain”.
Adapun pengertian dari “warga negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 6, dapat kita temukan penjelasannya dalam Pasal 26 UUD 1945, yang berbunyi, “Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Hal ini lebih selaras dengan semangat yang dibangun oleh Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dalam dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya”. Berdasarkan pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan warga Negara Indonesia yang dapat menjadi calon Presiden adalah warga Negara karena kelahiran (natural born citizen) dan bukan “bumiputra” seperti dimaksud IS Pasal 163. Jadi, setiap warga negara Indonesia karena kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain berhak menjadi Presiden. Sedangkan warga Negara Indonesia karena kewarganegaraan atau sebab-sebab lain seperti adopsi atau perkawinan tidak berhak menjadi Presiden.  
Kemudian di dalam Pasal 6A diatur mengenai mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut :
(1)   Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2)   Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik peserta pemilihan umum sebagai pelaksanaan pemilihan umum.[6]
(3)   Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.[7]
(4)   Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.[8]
(5)   Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Perubahan signifikan yang dilakukan oleh MPR terhadap Pasal 6 UUD 1945 antara lain mencabut wewenangnya sendiri (MPR) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, sehingga di tahun 2004 kita akan melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung olah rakyat tanpa melalui perwakilan, sehingga dapat menghindari intrik politik yang ada didalam MPR.
Kemudian didalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Pertama) menyebutkan, “sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat…” ayat (2) menyebutkan, “Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan siding, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan olah pimpinan Mahkamah Agung”.[9]
Perubahan Pasal 9 ini dilatarbelakangi peristiwa naiknya B.J. Habibie dari Wakil Presiden menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto, yang turun karena desakan masyarakat luas melalui reformasi tahun 1998. B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden di Istana Negara karena MPR tidak dapat melangsungkan sidangnya, gedung MPR disusuki oleh masyarakat.
Dengan adanya perubahan dalam mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui pemilihan secara langung oleh rakyat, akan memberikan warna baru dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia ke depan. Langkah ini dipandang lebih demokkratis dibandingkan masa sebelumnya, karena sering kali muncul distorsi demokrasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat.
Disamping itu, presiden dan wakil presiden terpilih akan memiliki legistimasi yang kuat karena langsung dipilih oleh rakyat. Jadi, presiden memiliki mandat langsung dari rakyat. Yang perlu diantisipasi kedepan adalah agar kekuasaan yang besar itu tidak disalahgunakan oleh presiden dan wakil presiden, maka pengawasan dari masyarakat dan lembaga Negara yang lain harus dioptimalkan.
Dengan adanya perubahan tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD 1945, maka Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tata cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI dicabut melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002, karena materinya sudah diinterogasikan kedalam pasal-pasal UUD 1945. Ketentuan lebih lanjut tentag Pemilihan Presiden dan Wakil Presien diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 93), yang disahkan pada tanggal 31 Juli 2006.





BAB III
PENUTUP
Ada beberapa alasan yang amat mendasar untuk melakukan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, yaitu presiden yang dipilih melalui pemilihan langsung akan mendapatkan mandat dan dukungan yang lebih nyata dari rakyat. Kemauan orang-orang yang memilih akan menjadi pegangan presiden dalam melaksanakan kekuasaanya. Selain itu pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan.
Pemilihan presiden langsung akan memberikan kesempatan luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecendrungan dalam system perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini makin diperparah atas dominannya pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik. Kemudian pemilihan langsung juga dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan Negara terutama dalam menciptakan mekanisme  Checks and Balances antara presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih rakyat.





[1] Edy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, ( Jakarta: Nusamedia,207), hlm. 9
[2] Harjono, Studi Hukum Tata Negara Pasca Perubahan Ke IV, ( Jakarta: Badan Pembinan
Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Ham Republik Indonesia, 205), Hlm.17
[3] Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia : persfektif konstitusional, Total media, Yogyakarta 2009 hlm 114
[4] Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2003, hlm. 78-79. Dikutip dari Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, hlm. 158.
[5] Ibid, hlm. 79. Lebih lanjut tentang syarat calon Presiden dan Wakil Presiden lihat dalam Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Preseiden dan Wakil Presiden.
[6] Ibid, hlm. 81. Dikutip dari Ketentuan Lebih lanjut dalam Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[7] Ibid, hlm. 81. Dikutip dari Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 66 UU No. 23 Tahun 2003.
[8] Ibid, hlm. 81-82. Dikutip dari Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 67 UU No. 23 Tahun 2003.
[9] Lebih lanjut lihat dalam pasal 69 UU No. 23 Tahun 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar